TASAWUF ADALAH SYARIAT (ISLAM,IMAN,IHSAN)
Shahib al-Samahah (Maulana Syekh), menyatakan bahawa dalam memperkatakan sesuatu perkara perlunya difahami terlebih dahulu maksud sesuatu itu. Dengan kata lain, sebelum mendefinisikan sesuatu secara jami' mani' (komprehensif), tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu kategori definisi yang definitif (ta'rif al-ta'rif), Perkara
ini amat penting kerana tanpanya sesuatu perkara menjadi kabur dan
keliru serta kurang tepat pengertian kefahaman makna sesuatu perkara. Shahib al-Samahah menyatakan bahwa ta'rif al-ta'rif adalah:
إبراز المعنى المستقر عند أهل الإختصاص
Ertinya: Definisi adalah menyatakan makna sesuatu dengan tepat oleh seseorang yang benar-benar memiliki kepakaran di bidangnya.
Definisi dan akar-akar tasawuf
Beberapa definisi tasawuf dan sufi, yang selama ini ditakrifkan kurang memuaskan. Meskipun definisi tersebut agak tepat ketepatan dari segi kata, namun terasa kurang sesuai dengan apa yang didefinisikan. Hal ini bukan bererti menafikan pihak lain.
Dalam
hal ini, setidaknya anda dapat mengamati bahawa para pengamat tasawuf
dari pelbagai disiplin ilmu dan sudut pandang memiliki sebuah titik
persamaan yang menyimpulkan bahwa tasawuf adalah pengalaman spiritual (al-tajribah al-ruhiyyah), meskipun dalam pendefinisian kata tasawuf dan sufi baik secara epistemologi dan terminologi, masih banyak perbahasan.
Secara epistemologi beberapa pendapat yang mendefinisikan kata sufi.
Pertama, kata sufi berasal dari bahasa Yunani, Shopia,
yang berarti kebijaksanaan. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa kata
sufi merupakan penisbahan terhadap seseorang yang mengenakan bulu kasar / wol (shuf). Ketiga, kata sufi dinisbatkan kepada ahl al-shuffah
(yang berada di Masjid Nabali saw.), dan masih banyak lagi definisi
yang mungkin dapat dikemukan dalam pelbagai literatur tasawuf.
Pertama, apakah memang kata sufi berasal dari bahasa Yunani? benarkah nilai-nilai tasawuf merupakan tiruan daripada peradaban Yunani kuno? Padahal kalau dikaji
secara teliti kata-kata sufi secara tersirat dan tersurat banyak
termaktub di dalam al-Qur`an. Jika demikian halnya, apakah al-Qur`an
banyak mengambil
peradaban Yunani kuno? Kedua, sekiranya sufi dinisbatkan kepada
seseorang yang memakai wol, berarti bukankah Biri-biri lebih sufi dari
seorang sufi? Ketiga, apabila sufi dinisbahkan kepada golongan Suffah di
Masjid Nabawi . (ahl al-shuffah) yang asyik berada di dalam masjid, lantas haruskah sufi semasa bersifat sedemikian.
Bagi penulis sendiri ketiga maksud tersebut kurang memuaskan. Sebab ketiganya dalam pandangan penulis kurang tepat bila kembali pada akar kata sufi (صوفي).. Definisi tepat tersebut penulis naqal dari Shahib al-Samahah, seorang Al-Arifbillah dan pakar tasawuf,
Maulana sheikh menyatakan, kata sufi bukanlah kata benda (ism), melainkan bentuk fi'il madli mabni majhul (kata kerja pasif). Sebagaimana kata ufiya (disembuhkan) dan nudiya(dipanggil), maka kata shufiya bererti disucikan. Dan akar kata tersebut adalah dari akar kata shafa’ dan mushafah.
Dalam ayat al-Qur`an :
" يا مريم إن الله اصطفاك وطهرك واصطفاك على نساء العالمين "
Artinya: Sesungguhnya Allah , mensucikan dan melebihkan dirimu atas wanita semesta alam.
أولى مراحل الوصول إلى الصفاء الذي ينم عن المصافاة Allah swt. membersihkan, mensucikan dan memilih Sayidah Maryam menjadi orang pilihan melalui mukasyafah
(sebuah penyingkapan tabir hubungan antara hamba dengan Tuhan).
Sedangkan terma tasawuf yang juga berasal dari akar kata yang sama, Shahib al-Samahah mendefinisikan :
العلاقة الطبيعية الخاصة بين العبد والرب
Sebuah hubungan khusus antara hamba dengan Tuhannya.
Atau bila dikaitkan antara sufi dan tasawuf, maka terma tasawuf berarti: Proses menuju sebuah pembersihan hati dengan mengikuti jejak ahli sufi (manusia terpilih) yang telah disucikan oleh Allah.
Walaupun demikian tidak pernah menafikan definisi yang lain, tapi dalam sudut pandangangan penulis, mungkin definisi yang paling tepat adalah definisi versi Sahib al-Samahah.
Dan mungkin persepsi tersebut masih layak untuk dikaji dan
diperdebatkan. Sebab realitanya masih banyak ilmuwan muslim yang hanya
melegitimasi tathhir al-qalb atau tazkiyat al-nafs dan
menolak secara mentah-mentah terminologi sufi dan tasawuf, tanpa mau
menerima pendapat pihak lain yang membuktikan bahawa terminologi
tasawuf dan sufi dapat ditemukan dalam panduan rujukan utama ajaran
Islam.
Menurut Shahib al-Samahah, perkembangan tasawuf bukan merupakan ciplak dari peradaban dan kebudayaan manapun, termasuk ajaran-ajaran Hermes dan Neoplatonisme, walaupun secara obyektif peradaban (tsaqafah) Islam tidak pernah menafikan al-ta`tsir (pengaruh) dan al-ta`atstsur (terpengaruh) pihak lain. Namun, jikalau tasawuf dinyatakan percampuran antara budaya non Islam (Yunani, Kristen, Budha dll.) dengan ajaran Islam, bererti secara tidak langsung hal ini menafikan kesucian dan kedaulatan Din al-Islam. Shahib al-Samahah menyatakan ayat al-Qur`an :
" إن الله اصطفى آدم و نوحا وآل إبراهيم وآل عمران على العالمين "
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mensucikan (melebihkan) Nabi Adam, Nabi Nuh, Keluarga Nabi Ibrahim, dan Keluarga Imran melebihi makhluk semesta alam.
Perkara yang dinisbahkan oleh Syekh Ibnu Arabi ra. dengan Wihdat al-Adyan (Islam sebagai titik pusat agama-agama Samawi). Sebagai catatan semua agama samawi adalah agama hanif yang layak disebut sebagai agama Islam..
Tasawuf merupakan intipati ajaran Islam yang dihubungkaitkan dengan Iman, Islam dan Ihsan. Iaitu serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Islam hanya sekadar
kelima rukun (asas) bangunannya. Namun seharusnya kelima rukun tersebut
harus dimantapkan menjadi bangunan agama yang utuh dan disempurnakan
dengan Iman dan Ihsan sebagai pelengkapnya. Ihsan merupakan makam kedudukan tertinggi dalam beragama, namun statusnya pun tidak dapat dipisahkan dari Iman dan Islam.
Sesetengah
orang yang menisbathkan tasawuf sebagai nilai-nilai etika yang
terangkum dari pelbagai peradaban agama dan budaya, tentu mereka akan
menyimpulkan bahwa dalam setiap agama dan budaya seolah-olah terdapat
nilai ajaran tasawuf.. Memang, bila kita perhatikan semua agama mengajarkan kebaikan, akan tetapi perlu kita ingat tidak semua agama membawa kepada kebenaran sejati.
Segelintir ilmuwan Muslim yang berusaha mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua bahagian. Pertama tasawuf sunni dan kedua tasawuf falsafi.
Pengklasifikasian tersebut seolah-olah telah menjadi sebuah kedudukan
ilmiah, namun bila diamati kaji pengklasifikasian tersebut seolah-olah
memberikan pengesahan terhadap tasawuf sahih (sesuai dengan syari'at)
dan tidak menyimpang dari landasan syariat agama. Iaitu apa yang
dinisbahkan kepada tasawuf sunni, sedangkan tasawuf yang menyimpang
terus dinisbahkan sebagai tasawuf falsafi.
Sebenarnya
kalau kita kembali pada titik tolak yang menyatakan bahawa tasawuf
sebagai pengalaman kerohanian yang sangat erat kaitannya dengan
individu, tentu standard yang kita gunakan untuk menentukan sahih atau
tidaknya sesuatu adalah standard yang lebih objektif dan komprehensif.
Dengan kata lain, apabila kita hanya membatasi standard tersebut dengan hal iman dan islam saja niscaya kita akan terjebak dalam kenyataan hitam dan putih. Tapi bila standadr iman, islam dan ihsan kita hubungkaitkan secara tepat, tentu kita tidak akan terjebak dengan klasifikasi pemisahan
tersebut. Sebab pada dasarnya, tasawuf falsafi bukanlah tasawuf sesat,
akan tetapi sebuah pengalaman kerohanianl peribadi individu, yang
mungkin hanya difahami oleh mereka yang merasakan(dzuq), sedangkan kita
hanya mengamati dari permukaan dan luaran saja. Sebagaimana kisah
Saidina al-Khidr yang tidak difahami oleh Nabi Musa, memang secara
zahir Saidina al-Khidlr melakukan tindakan kesalahan dalam kaca
mata syariat
Nabi Musa. Tapi sebenarnya Saidina al-Khidlr mengetahui apa yang tidak
diketahui oleh Nabi Musa. Begitu juga yang dialami oleh Syekh Abu
Manshur al-Hallaj ra. yang dinisbahkan dengan "Ana al-Haq" dan Syekh Ibnu Arabi ra. yang tindakannya dikategorikan sebagai Syathahat al-Shufiyyah. Sebab realitinya banyak pihak yang tidak mampu menghayati dasar ajaran Islam melalui bashirah
(mata hati) yang akan memberi seseorang untuk memahami hakikat
sesuatu. Walaupun realitinya fenomena tersebut sering dimanfaatkan oleh
segelintir orang sebagai pengakuan palsu dan pemahaman yang tidak
berdasar yang harus kita berwaspada.
Namun bila klasifikasi tersebut ditujukan sebagai sebuah ajaran sesat, yang ditemukan dalam hal tasawuf, bererti tuduhan tersebut seharusnya dikembalikan kepada pelaku (individu), bukan pada kandungan ajarannya.
Tasawuf sebagai manifestasi Syariah, Tariqah dan Haqiqat
Secara umum nilai-nilai ajaran tasawuf memiliki kaitan dan rantai yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam. Namun dalam prespektif yang berbeza, kita sering mendengar ungkapan masyhur yang menyatakan bahawa :
من تفقه ولم يتصوف فقد تفسق ومن تصوف ولم يتفقه فقد تزندق
Fiqh tanpa tasawuf mengakibatkan kefasikan, sedangkan tasawuf tanpa fiqh mengakibatkan zindiq, benarkah demikian?
Menurut hemat penulis, masalah tersebut berhubung dengan pemaknaan istilah (mafhum mushthalah) itu sendiri. Apabila pemaknaan tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan Shahib al-Samahah (sebagaimana termaktub di atas bahwa definisi tasawuf adalah mengikuti jejak langkah ahli sufi),
yang mana tasawuf dan syariat tidak dapat dipisahkan Sebab keduanya
adalah bagaikan mata wang yang tidak mungkin dicerai-beraikan kedua
belahnya. Shahib al-Samahah mengumpamakan; ketika seseorang
berada di tanah lapang dan melihat benda di kejauhan tanpa mengetahui
hakekat sebenarnya, berarti ia berada dalam martabat (kedudukan)syari'ah / ilm al-yaqin / ibadah. Lalu benda tersebut semakin dekat dan ia mengetahuinya bahawa sesuatu tersebut adalah manusia berarti ia berada dalam martabatTariqah / ain al-yaqin / ubudiyyah, dan kemudian ia dapat memastikan bahwa manusia tersebut adalah si Fulan bererti ia berada dalam martabat haqiqah / haq al-yaqin / ubudah.
Bila seorang muslim hanya berhenti dalam lingkup syariah saja, niscaya
bangunan keagamaannya pun hanya akan berupa pandangan setakat
kefahamannya sahaja, dan tidak akan berubah menjadi sebuah bangunan
Islam yang utuh dan lengkap.
Dan di sisi lain, amaliah dan usaha yang ditempuh oleh sang mutashawwif (ahli tasawuf) untuk mengikuti sufi sebenarnya adalah sebuah tindakan yang dapat kita kaitkan
dalam tiga hal yang merupakan penyempurnaan syariat secara lebih
spesifik, tanpa menafikan amaliah yang lain. Tiga hal tersebut adalah :
a. Zikir
Agama
Islam memiliki lima rukun. Semua rukun tersebut merupakan kewajiban
yang harus ditunaikan oleh seorang muslim. Disebalik kelima rukun
tersebut sebenarnya terdapat ibadah yang independen yang tidak dapat
dipisahkan dari kelimanya, sayangnya ibadah tersebut sering diabaikan dan dilupakan oleh umat Islam sendiri, iaitu zikir. Shahib al-Samahah meumpamakan;
Allah swt. menganjurkan kita untuk makan dan minum. Walaupun setiap
makanan mengandung unsur air, akan tetapi minum juga merupakan sebuah perkara yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Dengan kata lain meskipun kelima rukun Islam tersebut tidak dapat dipisahkan dari zikir. Namun di sisi lain, zikir juga merupakan ibadah khusus yang harus diamalkan secara intensif. Penjelasan dan tata cara berzikir akan didapatkan oleh seorang mutashawwif sesuai dengan petunjuk ahli sufi (Syekh / Wali Mursyid),
bukan hasil ciptaan ahli mutashawwif namun ianya adalah dari konsep
izin dan bersanad salsilah sampai ke hadrat Rasulullah SAW.
b. Salawat atas Rasul saw.
Begitu juga dengan bersalawat adalah amaliah yang tak dapat dipisahkan dari seorang muslim. Sebab salawat merupakan intisari (nafilah) dari syahadah Rasul dan mempamerkan cinta seorang muslim atas utusan penghubung utama dan pertama (wihdat al-wujud) antara hamba dengan Tuhan. Selama ini peranan Saidina Muhammad saw. Sebagai wihdat al-wujud banyak disalahertikan dengan pantheisme, ittihad atau hulul. Padahal kalau diperhatikan istilah wihdat al-wujud tidak dapat kita lepaskan dari al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, al-Insan al-kamil dan wihdat al-adyan, serta ketiga-tiganya pun diertikan secara tidak tepat. Sebenarnya wihdat al-wujud adalah sebuah terma yang menyatakan bahawa Nur Saidina Muhammad sebagai makhluk yang paling awal diciptakan (awwal al-khalq atau al-aql al-awwal) dan dari Nur Saidina Muhammad-lah seluruh makhluk diciptakan, sebagaimana al-Qur`an menjelaskan :
" قل إن كان للرحمن ولد فأنا أول العابدين "
Ertinya: Katakanlah (hai Muhammad) jika Tuhan yang Maha Pemurah mempunyai anak, niscaya Akulah (Saidina Muhammmad) Hamba yang pertama.
Terjemahan tersebut acapkali difahami secara kurang sesuai dengan kalimat aslinya, iaitu;
"Katakanlah, jika Tuhan yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah
(Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)". Allah
menciptakan seluruh makhluk untuk mengabdikan kepada-Nya, sedangkan
hamba (pengabdi) pertama yang diciptakan adalah Rasulullah saw., bererti
hal ini menunjukkan bahawa Rasul adalah makhluk yang pertama kali
diciptakan, bukan Saidina Muhammad yang akan memuliakan anak itu,
sebagaimana terjemah al-Qur`an yang termaktub di atas.
Hal ini diistilahkan Syekh Ibnu Arabi ra. sebagai al-Haqiqah al-Muhammadiyyah,
dan dari Nur Saidina Muhammad saw. segala makhluk diciptakan. Dan
ciptaan pertama tersebut bila dikaitkan dengan ayat yang termaktub dalam
surah al-Zumar ayat 4, maka makhluk terpilih yang pertama kali
tercipta; layak mendapat anugerah sebagai Sufi Pertama, ayat tersebut sebagai berikut:
" لو أراد الله أن يتخذ ولدا لاصطفى مما يخلق ما يشاء "
Artinya: Apabila Allah meghendaki anak, niscaya Dia akan memilih siapa saja yang ia kehendaki. Hakikatnya Allah tidak memiliki anak, maka Dia memilih Nur Saidina Muhammad sebagai makhluk yang pertama kali diciptakan.
Bagaimana dengan Nabi Adam? Nabi Adam as.
adalah manusia yang pertama, bukan makhluk yang pertama kali
diciptakan. Ciptaan pertama inilah yang berupa Nur Saidina Muhammad yang
tatkala wujud menjadi manusia, ia layak mendapat sebutan al-insan al-kamil. Sedangkan agama yang dibawa oleh Rasul adalah titik pusat (wihdah) dari seluruh agama samawi. Jadi faham wihdat al-adyan yang diselewengkan sebagai pluralisme agama, dengan pencampuradukan dengan ajaran agama atau pengakuan sebuah kebenaran kepelbagaian agama perlu diperjelaskan semula secara tepat.
c. Cinta kepada Ahlul-Bait
Ramai yang beranggapan bahwa ahl al-bait adalah zurriyyah Rasul saja. Padahal sebenarnya ada tiga istilah yang berhubungan dengan ahl al-bait, yaitu zurriyyah, itrah, ahl dan al. Dzurriyyah bererti keturunan Nabi secara biologi dan belum tentu dikategorikan sebagai ahl al-bait.Itrah adalah keturunan biologi yang statusnya berada di bawah ahl al-bait. Sedangkan ahl al-bait sendiri adalah seseorang yang mewarisi samudera ilmu dan etika Rasul. Adapun al al-bait bersifat lebih umum, meliputi dzurriyyah atau tidak, akan tetapi juga mewarisi dan layak mendapat gelaran sebagai ahl al-bait, seperti Saidina Salman al-Farisi, Saidina Bilal, Saidina Suhaib ar-Rumi dll. Jadi cinta kepada zurriyyah belum tentu dikategorikan sebagai cinta kepada ahl al-bait. Sedangkan cinta kepada al al-bait dan ahl al-bait adalah sebuah perasaan cinta yang ditujukan kepada individu yang sama, namun dengan istilah yang berbeda. Sebagaimana yang dinyatakan oleh imam Syafi'i ra. :
لو كان حب آل محمد بدعة # فإني بتلك العمر مكتف
Tarekat dan Syekh dalam institusi Tasawuf
Pelbagai aliran tarekat sebagai sebuah institusi tasawuf. Hal tersebut menunjukkan kindahan agama, sebab hal ini menunjukkan bahawa pintu agama tidak hanya terbuka dari satu sisi, melainkan terbuka melalui pelbagai dimensi.
Di sisi lain, sebuah tarekat juga memberikan kerohaniaan kepada mutashawif untuk mengaplikasikan ketiga hal tersebut (Islam,Iman,Ihsan),
serta mengarahkannya sesuai dengan ketentuan agama. Seorang muslim yang
bertasawuf memang tidak diharuskan untuk memasuki sebuah tarekat, namun
disebabkan tasawuf adalah pengalaman kerohanian, bererti secara tidak
langsung untuk mengalami pengalaman yang sesuai dengan ketentuan Allah
dan Rasul perlu bimbangan seorang guru kerohanian (Syekh mursyid).
Jika
guru kerohanian para sahabat adalah Rasul, dan guru kerohanian tabi'in
adalah sahabat, bererti guru kerohanian seorang mutashawif adalah ulama’
yang secara silsilah sanad dan wahbi (pemberian Tuhan) mewarisi ilmu mereka. Dan bukan sembarangan ulama’ yang difahami umum bahkan. Al-ulama’ waratsat al-anbiya’, para ulama’, sejatinya adalah mereka para pewaris para nabi, yang tidak dapat ditempuh dengan jalur formal dan melalui silsilah keturunan, melainkan Allah swt. jualah yang berhak memilihnya.
Kriteria dan status ulama’ (pewaris nabi) tersebut dapat ditempuh dengan pendidikan formal dan kelulusan ijazak kedoktoran, seperti al-Azhar misalnya; bererti
para orientalis yang memiliki kajian mendalam dan analisis tajam
terhadap agama dengan pelbagai macam pendekatan ilmiah mungkin layak
disebut ulama’ (pewaris nabi) termasuk mempunyai ijazah akademik kedoktoran PHD dalam bidang pengajian Islam?
Dan jika memang demikian, tentu akan ramai orang yang mengisytiharkan
dirinya sebagai pewaris para nabi, padahal ilmunya hanya terbatas ilmu
lahiriah dan terkadang keabsahannya pun masih dipertanyakan dan
kedapatan ramai langsung tiada sanad perguruan sebagaimana ilmu warisan
Nabawi. Jadi untuk mencari dan menemukan ulama' pewaris para nabi
adalah tidak semudah menggenggam kelima jari, begitu juga dengan menjadi
seorang syekh yang dianugerahi Allah sebagai pewaris Nabi adalah
bukan atas usaha manusia, namun hanya hak dan kehendak Allah.
Sedangkan taat kepada Syekh yang menjadi orang-orang pilihan tersebut, tidak menafikan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hubungan antara Syekh pilihan dengan murid tersebut dapat kita
perhatikan dalam kisah perjalanan antara Nabi Musa sebagai seorang murid
dan Saidina al-Khidlr sebagai seorang Syekh. Walaupun Nabi Musa adalah
salah satu Rasul ulul-azmi, namun ternyata ia diharuskan untuk
menjadi murid seorang yang dianugerahi Allah samudera hikmah dan bukan
nabi, memang ternyata pengetahuan manusia sangat terbatas, sedangkan
Lautan Ilmu Allah luas dan ianya layak dianugerahkan kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya.
Adapun
kedudukan Syekh yang agak curiga dan waswas bagi sebahagian kalangan
orang Islam sendiri, sebenarnya perlu difahami bahwa hal ini bukan
bererti taksub atau fanatik, melainkan hanya sebuah refleksi perasaan
cinta seseorang kepada manusia pilihan yang menjadi pewaris Nabi (iaitu
mahabbah). Lantas apakah memang menjadi sufi (orang pilihan) hanyalah
hak ketentuan Allah? Hal ini dapat kita perhatikan dari ramainya yang bertarekat atau bahkan bertasawuf, tetapi mereka tidak pernah menjadi sufi.
Mahabbah Syeikh bukan bererti penyembahan dan pengabdian tetapi
manifestasi kesyukuran, dankefahaman sebagaimana sarana Quran dan
Sunnah. Dan diatas nikmat mendapat bimbingan ulama’ pewaris Nabi SAW.
Iaitu perbezaan antara ta’bud dan ta’zim.
Penutup
Tasawuf merupakan sebuah pengalaman kerohanian yang tidak akan pernah dicapai seseorang dengan rujukan buku atau bacaan atau kelulusan tinggi akademik. Akan tetapi akan anda rasakan bila anda dzauq dan merasakannya, sebagaimana nikmat dan lazatnya makanan hanya dirasakan oleh seseorang yang telah merasakannya.
Dan menjadi seorang Sufi bukanlah tujuan utama dari tasawuf, tapi zikir, salawat dan cinta ahl al-bait merupakan
upaya yang harus ditempuh oleh seseorang yang ingin bertasawuf,
melalui bimbingan dan petunjuk seorang “Wali Mursyid” (Syekh) yang
benar-benar memiliki ilmu lahir batin layaknya pewaris para nabi dan
rasul. Justeru Islam adalah agama amali dan hanya dihayati melalui bimbingan wali mursyid sebagaimana dinyatakan nas Quran dan Sunnah.